Sabtu, 21 April 2012

ZAKAT



Print
E-mail
Zakat - Zakat
Zakat secara bahasa berarti tumbuh. Selain itu zakat berarti mensucikan.
Adapun pengertian zakat secara istilah syar’i berkaitan erat dengan dua pengertian di atas. Apabila zakat berarti tumbuh, maka ini menunjukkan bahwa jika zakat tersebut dikeluarkan dari harta, maka harta tersebut akan semakin berkembang. Atau hal ini dapat bermakna pula bahwa zakat akan semakin memperbanyak pahala kebaikan seseorang. Atau dapat bermakna pula bahwa zakat itu ada pada harta yang berkembang saja seperti pada harta perdagangan dan pertanian. Adapun jika zakat berarti mensucikan, ini berarti zakat dapat menyucikan jiwa dari sifat pelit dan dapat menyucikan dari berbagai dosa. Demikian penjelasan yang penulis sarikan dari keterangan Ibnu Hajar dalam Al Fath.[1]
Intinya, pengertian zakat secara istilah, adalah penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dalam bentuk yang khusus, dan disyaratkan ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun) dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki harta dan mengeluarkan zakatnya.[2]
Zakat merupakan bagian dari rukun Islam, yaitu termasuk rukun Islam yang ketiga. Islam biasa diibaratkan dalam beberapa hadits dengan bangunan. Ini menunjukkan bahwa Islam itu bisa berdiri jika ada penegaknya. Dan di antara penegaknya adalah zakat. Itu berarti jika zakat itu tidak ada, maka bisa robohlah bangunan Islam tersebut. hadist yang di riwayatkan oleh i Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Zakat adalah suatu kepastian dalam syari’at Islam, sehingga tidak perlu lagi kita bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk membuktikannya. Para ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya. Adapun hukum asalnya telah disepakati bahwa zakat itu wajib, sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”[3]
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syari’at Islam memiliki makna yang sama. Keduanya terbagi menjadi dua: (1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian masyarakat bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan sedekah adalah yang sunnah, maka itu adalah anggapan yang tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.
Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk istilah sedekah yang wajib, yang sunnah, untuk nafkah, kewajiban dan pemaafan.”[4]
Syarat-Syarat Zakat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan ada yang berkaitan dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat): (1) islam, dan (2) merdeka. [5]
Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama.[6]
Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna, (2) harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokoknya.[7]
Berikut rincian dari syarat yang berkaitan dengan harta.
(1) Dimiliki secara sempurna.
Pemilik harta yang hakiki sebenarnya adalah Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7) Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta adalah milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan hartanya pada jalan Allah sebagaimana halnya seseorang yang mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak.”[8]
Harta yang hakikatnya milik Allah ini telah dikuasakan pada manusia. Jadi manusia yang diberi harta saat ini dianggap sebagai pemegang amanat harta yang hakikatnya milik Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat di sini adalah harta tersebut adalah milik di tangan individu dan tidak berkaitan dengan hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas pilihannya sendiri dan faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh.[9]
Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang benar dalam hal ini, piutang bisa dirinci menjadi dua macam:
  1. Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang seperti dikenai zakat, ditunaikan dengan segera dengan harta yang dimiliki dikeluarkan setiap haul (setiap tahun).
  2. Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi  karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.[10]
(2) Termasuk harta yang berkembang.
Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi si empunya atau harta itu sendiri berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama membagi harta yang berkembang menjadi dua macam: (a) harta yang berkembang secara hakiki (kuantitas), seperti harta perdagangan dan hewan ternah hasil perkembangbiakan, (b) harta yang berkembang secara takdiri (kualitas).
Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ
Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464)
Dari sini, maka tidak ada zakat pada harta yang disimpan untuk kebutuhan pokok semisal makanan yang disimpan, kendaraan, dan rumah.[11]
(3) Telah mencapai nishob.
Nishob adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat. Untuk masing-masing harta yang dikenai zakat, ini akan ukuran nishob masing-masing yang nanti akan dijelaskan.
(4) Telah mencapai haul.
Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah. Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak. Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada syarat haul, namun zakat dari pertanian dikeluarkan setiap kali panen.[12]
(5) Kelebihan dari kebutuhan pokok.
Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah sebagai barometer seseorang itu dianggap mampu atau berkecukupan. Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan, maka seseorang bisa jadi akan celaka, seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian. [13]
Harta yang Dikenai Zakat
Beberapa harta yang para ulama sepakat wajib dikenai zakat adalah:
  1. Emas dan perak (mata uang).
  2. Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
  3. Pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma, dan anggur).
Yang akan dibahas pada kesempatan selanjutnya secara khusus adalah mengenai zakat emas, perak dan mata uang. Semoga Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Finished @ Pangukan-Sleman, Sya’ban, 11st 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Referensi:
  1. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
  2. Az Zakat wa Tathbiqotuhaa Al Mu’ashiroh, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyar, Darul Wathon, cetakan ketiga, 1415 H.
  3. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379.
  4. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah.
  5. Tafsir Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al Anshori Al Qurthubi, Mawqi’ Ya’sub.


PDF Print E-mail

 Golongan Penerima Zakat

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Dalam dua artikel sebelumnya kami telah membahas syarat-syarat zakat dan panduan zakat emas, perak dan mata uang. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas tema menarik lainnya tentang zakat yaitu golongan yang berhak menerima zakat. Semoga bermanfaat.
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (Qs. At Taubah: 60) Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1]

Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat manakah yang kondisinya lebih susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini, Allah menyebut fakir lebih dulu baru miskin. Ulama lainnya berpendapat miskin lebih parah dari fakir.[2]
Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.[3]
Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan.”[4]
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun hartanya mencapai nishob, maka  ia halal untuk mendapati zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[5]
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat mayoritas ulama.[6]
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.”[7]
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja, pen)”[8]
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun.[9]
Golongan kedua: amil zakat.
Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”[10]
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan  pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.[11]
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”[12]
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”[13]
Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”[14]
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Golongan ketiga: orang yang ingin dilembutkan hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan hatinya. Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
  1. Orang yang lemah imannya namun ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
  2. Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
  1. Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
  2. Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.[15]
Golongan kelima: pembebasan budak.
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.[16]
Golongan keenam: orang yang terlilit utang.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
  1. Yang berutang adalah seorang muslim.
  2. Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
  3. Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
  4. Utang tersebut membuat ia dipenjara.
  5. Utang tersebut mesti dilunasi saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
  6. Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Kedua: Orang yang terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang lain. Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan dirinya, namun untuk kepentingan orang lain. Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ
Sesungguhnya permintaan itu tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk meminta-minta).”[17]
Ketiga: Orang yang berutang karena sebab dhoman (menanggung sebagai jaminan utang orang lain). Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang dijamin utang sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.[18]
Golongan ketujuh: di jalan Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama: Berperang di jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau miskin.
Kedua: Untuk kemaslahatan perang.
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.[19]
Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.[20]
Memberi Zakat untuk Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai atau Guru Ngaji
Para fuqoha berpendapat tidak bolehnya menyerahkan zakat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan, masjid dan jalan. Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik individual dan dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan golongan tidak pada yang lainnya.
Begitu pula tidak boleh menyerahkan zakat kepada pak Kyai atau guru ngaji kecuali jika mereka termasuk dalam delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.
Menyerahkan Zakat kepada Orang Muslim yang Bermaksiat dan Ahlu Bid’ah
Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada beberapa golongan:
  1. Muslim yang taat dan menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya.
  2. Termasuk ahlu bid’ah dan bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.
  3. Ahli bid’ah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam itu.[21]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sudah seharusnya setiap orang memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan zakat dari kalangan fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan lainnya. Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang berpegang teguh dengan syari’at. Jika nampak pada seseorang kebid’ahan atau kefasikan, ia pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah pantas dimintai taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong dalam berbuat maksiat.”[22]


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel rumaysho.com dan PengusahaMuslim.Com

[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, Asy Syamilah, index “zakat”, point 156.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 157.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 158.
[4] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8254, index “zakat”, point 159.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8256, index “zakat”, point 163.
[7] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[8] HR. Abu Daud no. 1634, An Nasai no. 2597, At Tirmidzi no. 652, Ibnu Majah no. 1839 dan Ahmad 2/164 . Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 877. Lihat Syarh Sunan Ibni Majah, As Suyuthi dkk, Asy Syamilah 1/132.
[9] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8257, index “zakat”, point 164.
[10] HR. Abu Daud no. 1635. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
[11] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8258, index “zakat”, point 168.
[12] Fiqh Sunnah, terbitan Dar al Fikr Beirut, 1/327.
[13] Tamamul Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Muassasah Qurthubah Mesir, 2/290
[14] Majalis Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, cet Darul Hadits Kairo, hal 163-164.
[15] Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, Beirut, 1405 H, 7/319
[16] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8260-8261, index “zakat”, point 169.
[17] HR. An Nasai no. 2579 dan Ahmad 5/60. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[18] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8261-8262, index “zakat”, point 170 dan 171.
[19] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8263, index “zakat”, point 172 dan 173.
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8264-8265, index “zakat”, point 174 dan 175.
[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/76-77.
[22] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 25/87.

 

 

PDF Print E-mail
PANDUA ZAKAT EMAS, PERAK, DAN MATA UANG
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Alhamdulillah, sekarang kami punya kesempatan untuk mengkaji kembali pembahasan zakat. Pada pertemuan sebelumnya telah kami sajikan apa saja syarat-syarat zakat. Setelah memahami dan mengetahui hal itu, saat ini kami akan melanjutkan dengan penjelasan zakat emas, perak dan mata uang. Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca kabarislam sekalian.
Zakat Emas dan Perak
Jika emas dan perak serta pemiliknya telah memenuhi syarat-syarat zakat, lalu ditambah dengan memenuhi nishob dan telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah[1]), maka wajib ketika itu untuk mengeluarkan zakat. Emas dan perak tersebut nantinya akan dikeluarkan zakatnya setiap tahun sekali.
Nishab Emas dan Perak
Nishab atau ukuran minimal dikenainya zakat pada emas dan perak serta berapa persen zakat yang ditarik diterangkan dalam hadits berikut ini.
Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ – يَعْنِى فِى الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikit pun –maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.”  (HR. Abu Daud no. 1573. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima uqiyah “. (HR. Bukhari no. 1447 dan Muslim no. 979)
Dan pada hadits riwayat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dinyatakan,
وَفِى الرِّقَةِ رُبْعُ الْعُشْرِ
Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).” (HR. Bukhari no. 1454)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya kita dapat simpulkan beberapa hal:
  1. Nishab adalah batas minimal dari harta zakat yang bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu pada hadits riwayat Ali radhiyallahu ‘anhu di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,  “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.”
  2. Harta emas dan perak yang telah mencapai nishob harus telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah).
  3. Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah 1/40 atau 2,5 %.
  4. Nishab emas adalah 20 (dua puluh) dinar, setara dengan 70 gram emas.[2]
  5. Nishab perak yaitu sebanyak 5 (lima) uqiyah, setara dengan 460 gram perak.[3]
Perlu diingat bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak di atas adalah emas dan perak murni (24 karat). Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, maka ia dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut:
Cara pertama: Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua: Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu. Sehingga yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menanyakan harga beli emas atau perak per gram saat dikeluarkannya zakat. Jika ternyata telah memenuhi nishob dan haul, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5 % (1/40) dari berat emas atau perak yang dimiliki dan disetarakan dalam mata uang di negeri tersebut.
Seandainya harga emas murni Rp338.000,-/gram dan perak murni Rp5400,-/gram.
Nishob emas = 70 gr x Rp338.000,-/gr = Rp23.660.000,-
Nishob perak = 460 gr x Rp5400,-/gr = Rp2.484.000,-
Contoh 1: Harta yang dimiliki adalah 100 gram emas (24 karat) dan telah bertahan selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishob.
Zakat yang dikeluarkan (emas) = 1/40 x 100 gr emas = 2,5 gr emas
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 2,5 gr emas x Rp338.000,-/gr emas = Rp845.000,-
Contoh 2: Harta yang dimiliki adalah 600 gram perak murni dan telah bertahan selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishob.
Zakat yang dikeluarkan (perak) = 1/40 x 600 gr perak = 15 gr perak
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 15 gr emas x Rp5.400,-/gr perak = Rp81.000,-
Zakat Mata Uang
Zakat mata uang ini tetap ada karena sebagai alat tukar pengganti emas dan perak untuk saat ini. Namun masalahnya bagaimana dengan nishob zakatnya?
Sebagian ulama saat ini semacam Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Tetap Penelitian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia) menyatakan bahwa yang jadi patokan dalam zakat mata uang adalah nishob perak. Karena inilah yang bisa mencakup antara nishob emas dan perak, juga jika kita mendekatinya dengan perak, maka itu akan lebih menyenangkan fakir miskin.
Pendapat lainnya, menyatakan bahwa yang jadikan patokan dalam zakat mata uang adalah nishob emas. Di antara alasannya:
  1. Nilai perak akan jauh berbeda antara zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman setelahnya. Hal ini berbeda dengan emas.
  2. Jika disetarakan dengan nishob emas, maka itu akan mendekati nishob zakat lainnya seperti nishob pada zakat hewan ternak. Contohnya saja, zakat kambing adalah 40 ekor. Kalau kita perkirakan, nishob kambing setara dengan = 40 ekor x Rp600.000,-/ekor = Rp24.000.000,-. Lihatlah hampir mendekati dengan nishob emas. Namun coba jika yang jadi patokan adalah nishob perak, yaitu Rp2.484.000,-. Nishob perak semacam ini setara dengan 6 ekor kambing. Coba bayangkan, sungguh aneh jika hanya memiliki  6 ekor kambing saja dikatakan ghoni (sudah berkecukupan) dan dikenai zakat.
Dari dua pendapat di atas, penulis lebih cenderung pada pendapat kedua karena alasannya yang begitu kuat.[4]
Jika kita memilih pendapat yang menyatakan bahwa zakat mata uang memakai nishob emas, maka berarti:
Nishob mata uang = 70 gr x Rp338.000,-/gr = Rp23.660.000,-
Contoh: Ahmad memiliki simpanan uang sebesar Rp40.000.000,- pada akhir tahun. Nishob mata uang sekitar Rp23 juta. Harta tersebut bertahan masih di atas nishob mulai sejak 28 Ramadhan 1430 H s/d 28 Ramadhan 1431 H. Berarti harta tersebut wajib dikenai pajak.
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 1/40 x Rp40.000.000,- = Rp1.000.000,-.
Zakat Penghasilan
Yang tepat tentang masalah ini, zakat penghasilan barulah ada jika telah mencapai nishob dan telah mencapai masa satu tahun (bukan setiap bulan) sebagaimana diterangkan dalam syarat-syarat zakat. Jadi tidak tepat jika dikeluarkan tiap bulan Hijriyah.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah yang pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah, pernah berkata, “Jika gaji telah mencapai haul (gaji bertahan setahun) dan telah mencapai nishob, maka ketika itu wajib dikenai zakat. Namun jika gaji tersebut tidak memenuhi dua hal tadi, maka tidak ada zakat.”[5]
Apalagi jika ada kebutuhan setiap bulannya, padahal telah kita ketahui bersama bahwa zakat merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok. Jika gaji tersebut masih dibutuhkan untuk kebutuhan pokok bulanan, maka tentu saja hal itu lebih didahulukan. Sehingga untuk perhitungan zakat penghasilan, kita total setahun penghasilan yang ada dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran (kebutuhan pokok).
Rumus zakat penghasilan = 1/40 x (total gaji dalam setahun – pengeluaran)
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di Panggang-GK, 16 Sya’ban 1431 H (28 Juli 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id


[1] Patokan satu tahunnya adalah tanggal Hijriyah dan bukan tanggal Masehi.
[2] Lihat Az Zakah, hal. 92, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyar. Ukuran ini lebih lebih sedikit daripada pendapat sebagian ulama yang menyatakan nishob zakat emas jika disetarakan menjadi 85 gram emas (dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin), ada pula yang mengatakan 91 3/7 gram (dipilih oleh Al Lajnah Ad Daimah dalam Fatawa no. 5522, 9/255).  Nishob emas dengan 70 gr emas kami rasa lebih baik karena lebih hati-hati dan nantinya lebih menyenangkan si miskin atau orang yang berhak menerimanya.
[3] Lihat Az Zakah, hal. 92. Ukuran ini lebih lebih sedikit daripada pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, yang menyatakan zakat perak setara dengan 595 gram perak murni.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/23.
[5] Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 14/135.


Perhitungan Zakat Penghasilan

PDF Print E-mail

Ada pertanyaan yang diajukan pada Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah,
Saya adalah seorang pegawai yang mendapat gaji bulanan 2000 riyal[1] (sekitar 5 juta rupiah). Semua kerabat sangat bergantung padaku dan penghidupan mereka aku pun yang menanggungnya dari gajiku. Aku sendiri memiliki seorang istri, seorang anak perempuan, orang tua, saudara laki-laki dan beberapa saudara perempuan, yang kesemuanya aku tanggung nafkahnya.
Lantas pertanyaannya, bagaimana aku bisa mengeluarkan zakat dari hartaku sedangkan sumber penghasilanku hanya dari gaji. Akan tetapi semuanya gajiku tadi untuk penghidupan keluargaku. Oleh karena itu, kapan seharusnya aku mengeluarkan zakat? Sebagian orang mengatakan bahwa gaji itu sebagaimana tanaman. Jadi tidak ada patokan haul (menunggu masa satu tahun). Kapan saja seseorang mendapati gaji, maka ia wajib zakat.
Jawaban Syaikh hafizhohullah,
Siapa saja yang memiliki gaji bulanan, namun gaji itu sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhannya dan di akhir bulan gajinya pun telah habis, maka ia tidak ada kewajiban zakat. Karena yang namanya zakat haruslah melewati haul (masa satu tahun sempurna dan hartanya masih di atas nishob).
Berdasarkan hal tersebut, maka engkau –wahai penanya- tidaklah wajib mengeluarkan zakat kecuali jika memang ada hartamu yang engkau simpan dan harta tersebut telah mencapai nishob (batasan minimal dikenai zakat) serta harta tadi bertahan selama haul (masa satu tahun).
Adapun ada yang mengatakan bahwa zakat penghasilan itu sebagaimana zakat tanaman (artinya dikeluarkan setiap kali gajian yaitu setiap bulan, pen), sehingga tidak ada ketentuan haul (menunggu satu tahun), maka ini adalah pendapat yang tidak tepat.
Karena semakin banyak orang yang memiliki penghasilan dari gaji, sangat baik sekali kami menjelaskan bagaimanakah cara pengeluaran zakat tersebut.
Pekerja itu ada dua kondisi dalam hal penghasilannya (gajinya):
Pertama: Orang yang menghabiskan gajinya seluruhnya (setiap bulan) untuk kebutuhannya dan tidak ada sedikit pun harta yang disimpan, maka kondisi semacam ini tidak ada zakat sebagaimana keadaan dari penanya.
Kedua: Ada harta yang masih disimpan, kadang harta tersebut bertambah dan kadang berkurang. Bagaimana menghitung zakat pada kondisi semacam ini?
Jawabnya, jika orang tersebut semangat untuk menghitung kewajiban zakat secara lebih mendetail , yaitu zakat tersebut tidaklah dikeluarkan pada orang yang berhak kecuali dari bagian harta yang kena wajib zakat. Oleh karena itu ia harus mengetahui jadwal kapan penghasilannya diperoleh. (Barangkali ia menyimpan gaji beberapa bulan), maka setiap gaji tersebut dikhususkan dengan satu haul (artinya gaji bulan pertama dihitung haulnya sendiri, gaji bulan kedua dan seterusnya pun demikian). Perhitungan haul tadi dimulai dari kapan harta tersebut dimiliki. Setiap bagian gaji penghasilan tersebut dikeluarkan sesuai dengan kapan jatuh haulnya. Lalu setelah itu zakat tersebut dikeluarkan.
Jika dia ingin menempuh jalan yang mudah, lebih enak, dan lebih menyenangkan orang miskin dan orang yang berhak menerima zakat lainnya, maka semua penghasilan yang ia miliki dizakati (tidak perlu dihitung haul tiap bulan). Perhitungan haulnya adalah dari hartanya yang pertama kali mencapai nishob. Cara penunaian zakat seperti ini akan mendapatkan pahala besar dan meninggikan derajatnya. Zakat tersebut lebih menyenangkan jiwa dan lebih membahagiakan fakir miskin dan penerima zakat lainnya. Adapun bagian penghasilan yang pertama mencapai haul, maka dibayarkan ketika itu juga. Sedangkan yang belum mencapai haul dianggap sebagai zakat yang disegerakan. [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 9/280]
Contoh cara perhitungan zakat dengan cara kedua di atas:
Gaji diterima pada bulan Muharram dan ketika itu ia sisihkan untuk disimpan sebanyak 1000 riyal (sekitar 2,5 juta rupiah). Kemudian bulan Shafar dan bulan selanjutnya ia lakukan seperti itu. Ketika sampai Muharram tahun berikutnya, maka seluruh penghasilannya yang ia simpan dikeluarkan zakatnya. [Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 26113]
Pelajaran
Syarat sakat penghasilan ada dua: (1) telah melewati nishob dan  (2) telah bertahan di atas nishob selama satu haul (masa satu tahun). Nishob adalah kadar minimal suatu harta dikenai zakat. Sebagaimana pernah dibahas di rumaysho.com bahwa zakat penghasilan mengunakan nishob emas yaitu 70 gram emas murni (24 karat). Misal, harga 1 gram emas murni adalah Rp.300.000,-. Maka nishob zakat penghasilan = 70 gr x Rp.300.000,-/gr = Rp21.000.000,-. Artinya, jika penghasilan seorang pegawai dalam setahun sudah bertahan mulai di atas Rp.21.000.000,-, barulah ia dikenai zakat. Namun jika dalam setahun harta yang tersimpan tidak mencapai nilai tersebut, berarti tidak ada zakat.
Dari penjelasan di atas, ada dua cara perhitungan zakat penghasilan jika memang ada simpanan dari penghasilan tersebut. Namun cara yang paling mudah adalah memakai hitungan haul total (bukan hitungan haul bulanan).
Contoh perhitungan zakat penghasilan:
Misal harta yang tersimpan dari mulai usaha:
  • Pada tahun 1432 H, Muharram: Rp.3.000.000,-
  • Safar: Rp.2.000.000,-
  • Rabiul Awwal: Rp.1.000.000,-
  • Rabiuts Tsani: Rp.3.000.000,-
  • Jumadal Ula: Rp.4.000.000,-
  • Jumadats Tsani: Rp.2.000.000,-
  • Rajab: Rp.1.000.000,-
  • Sya’ban: Rp.5.000.000,- (Harta simpanan = Rp. 21.000.000,-, artinya sudah masuk nishob dan mulai dikenai zakat)
  • Ramadhan: Rp.2.000.000,-
  • Syawwal: Rp.2.000.000,-
  • Dzulqo’dah: Rp.3.000.000,-
  • Dzulhijjah: Rp.2.000.000,- (Total harta simpanan = Rp.30.000.000,-)
Berarti ia mulai dihitung terkena kewajiban sejak Sya’ban 1432 H. Artinya, pada awal Sya’ban 1433 H (tahun berikutnya), ia harus mengeluarkan zakat.
  • Pada tahun 1433 H, Muharram: Rp.3.000.000,-
  • Safar: Rp.2.000.000,-
  • Rabiul Awwal: Rp.1.000.000,-
  • Rabiuts Tsani: Rp.3.000.000,-
  • Jumadal Ula: Rp.1.000.000,-
  • Jumadats Tsani: Rp.1.000.000,-
  • Rajab: Rp.2.000.000,-
Di awal Sya’ban, total harta simpanan =  Rp.43.000.000,-
Zakat yang dikeluarkan = 2,5% x Rp.43.000.000,- = Rp.1.075.000,-

Catatan: 1 haul dihitung dengan penanggalan Hijriyah, bukan dengan penanggalan Masehi.
Moga sajian ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 23 Jumadal Ula 1432 H (26/04/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Zakat Fitrah

PDF Print E-mail
Zakat - Zakat

Zakat Fitrah

Ketentuan :
  1. Besarnya zakat fitrah adalah 2.5 kg
  2. Zakat fitrah adalah zakat badan jadi sebaiknya tidak di gantikan dengan uang walaupun nilainya setara. baca disini bolehkah mengganti zakat fitrah dengan uang
  3. Orang yang wajib membayar zakat fitrah
    Semua muslim tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, bayi, anak-anak dan dewasa, kaya atau miskin (yang mempunyai makanan pokok lebih dari sehari)
  4. Waktu mengeluarkan zakat fitrah :
    Boleh diberikan awal bulan Ramadhan, tetapi wajibnya zakat fitrah diberikan menjelang Sholat Idul Fitri atau tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan
  5. Penerima Zakat secara umum ditetapkan dalam 8 golongan/asnaf (fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, ibnu sabil) namun menurut beberapa ulama khusus untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan pertama yakni fakir dan miskin. Pendapat ini disandarkan dengan alasan bahwa jumlah/nilai zakat yang sangat kecil sementara salah satu tujuannya dikeluarkannya zakat fitrah adalah agar para fakir dan miskin dapat ikut merayakan hari raya dan saling berbagi sesama umat islam.
  6. Baca lengkapnya 8 Golongan Penerima Zakat

Pengenalan Zakat

PDF Print E-mail
Zakat - Zakat
MAKNA ZAKAT

Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan oleh agama, dan disalurkan kepada orang–orang yang telah ditentukan pula, ada delapan golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk  budak, orang-orang yang ber hutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .”

Zakat dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna :

* Pertama, zakat bermakna At-Thohuru, yang artinya membersihkan atau mensucikan. Makna ini menegaskan bahwa  orang yang selalu menunaikan zakat karena Allah dan bukan karena ingin dipuji manusia, Allah akan membersihkan dan mensucikan baik hartanya maupun jiwanya. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan  dan mensucikan  mereka  dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu  ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

*Kedua, zakat bermakna Al-Barakatu, yang artinya berkah. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu membayar zakat, hartanya akan selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah SWT, kemudian keberkahan harta ini akan berdampak kepada keberkahan hidup. Keberkahan ini lahir karena harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih, sebab harta kita telah dibersihkan dari kotoran dengan menunaikan zakat yang hakekatnya zakat itu sendiri berfungsi  untuk membersihkan dan mensucikan harta.

* Ketiga, zakat bermakna An-Numuw, yang artinya tumbuh dan berkembang. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya (dengan izin Allah) akan selalu terus tumbuh dan berkembang. Hal ini disebabkan oleh kesucian dan keberkahan harta yang telah ditunaikan kewajiban zakatnya. Tentu kita tidak pernah mendengar orang yang selalu menunaikan zakat dengan ikhlas karena Allah, kemudian banyak mengalami masalah dalam harta dan usahanya, baik itu kebangkrutan, kehancuran, kerugian usaha, dan lain sebagainya. Tentu kita tidak pernah mendengar hal seperti itu, yang ada bahkan sebaliknya.

Selama beraktivitas di Lembaga Amil Zakat, sampai saat ini penulis belum menemukan orang –orang yang rutin menunaikan zakat kemudian berhenti dari menunaikan zakat disebabkan usahanya bangkrut atau ekonominya bermasalah, bahkan yang ada adalah orang–orang yang selalu menunaikan zakat, jumlah nominal zakat yang dikeluarkannya dari waktu ke waktu semakin bertambah besar, itulah bukti bahwa zakat sebenarnya tidak mengurangi harta kita, bahkan sebaliknya. Memang secara logika manusia, dengan membayar zakat maka harta kita akan berkurang, misalnya jika kita mempunyai penghasilan Rp. 2.000.000,- maka zakat yang kita keluarkan adalah 2,5 % dari Rp. 2.000.000,- yaitu Rp 50.000,-. Jika kita melihat menurut logika manusia, harta yang pada mulanya berjumlah Rp.2.000.000,- kemudian dikeluarkan Rp. 50.000,- maka harta kita menjadi Rp. 1.950.000,-  yang berarti jumlah harta kita berkurang. Tapi, menurut ilmu Allah yang Maha Pemberi rizki, zakat yang kita keluarkan tidak mengurangi harta kita, bahkan menambah harta kita dengan berlipat ganda.  Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 39 :

“Dan sesuatu riba  yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka  itulah orang-orang yang melipat gandakan .”

Dalam ayat ini Allah berfirman tentang zakat yang sebelumnya didahului dengan firman tentang riba. Dengan ayat ini Allah Maha Pemberi Rizki menegaskan bahwa riba tidak akan pernah melipat gandakan harta manusia, yang sebenarnya dapat melipat gandakannya adalah dengan menunaikan zakat.

Keempat, zakat bermakna As-Sholahu, yang artinya beres atau keberesan, yaitu bahwa orang orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya akan selalu beres dan jauh dari masalah. Orang yang dalam hartanya selalu ditimpa musibah atau  masalah, misalnya kebangkrutan, kecurian, kerampokan, hilang, dan lain sebagainya boleh jadi karena mereka selalu melalaikan zakat yang merupakan kewajiban mereka dan hak fakir miskin beserta golongan lainnya yang telah Allah sebutkan dalam Al – Qur’an.
Jazakumullah
Sumber: Rumahzakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar